Tanjungpinang — Di sebuah pagi yang cerah di Kota Tanjungpinang, Senin (21/4/2025). Khoirul Anam berdiri di depan gedung Polresta Tanjungpinang dengan map di tangan dan raut wajah yang nyaris datar. Tak ada poster protes. Tak ada suara lantang. Tapi langkah kakinya berat karena hari itu, ia melaporkan kehilangan bagian penting dari hidupnya: ijazah aslinya yang hilang di tangan mantan tempatnya bekerja, restoran cepat saji Mr Blitz Km 10.
Bagi sebagian orang, mungkin ini hanya soal kertas. Tapi bagi Anam, kertas itu adalah harapan.
“Saya cuma mau ijazah saya kembali” ucap Anam.
Anam, pria muda berperawakan sederhana itu, tidak datang sendirian. Ia ditemani pamannya, Moel Akhyar, dan seorang pengacara yang kini berdiri tegak di sisinya: Maskur Tilawahyu.
“Ini bukan cuma soal kehilangan dokumen. Ini soal tanggung jawab perusahaan terhadap masa depan seorang pekerja,” kata Maskur, sambil menunjukkan surat laporan yang baru saja mereka serahkan ke pihak kepolisian.
Langkah hukum ini, kata Maskur, adalah jalan terakhir. Sebab sebelumnya, pihak keluarga sudah membuka pintu lebar-lebar untuk penyelesaian secara kekeluargaan. Bahkan somasi pun sudah dilayangkan. Tapi semuanya dijawab dengan diam.
Dipecat Dini Hari, Ijazah Tidak Kembali
Semua bermula pada bulan Februari 2025, sekitar pukul 01.00 wib. Anam dipanggil ke restoran oleh owner Mr Blitz berinisial YES. Ia dituduh menjalin hubungan asmara dengan rekan kerjanya, Yolla. Tanpa peringatan tertulis, tanpa berita acara, ia langsung diberhentikan.
Besoknya, ia tak kembali bekerja.
“Saya kembalikan semua atribut kerja. Saya kira, selesai. Tapi ternyata, yang paling penting ijazah saya tak juga dikembalikan,” cerita Anam.
Berulang kali ia mencoba menghubungi pihak manajemen. Dari abangnya Ulum, pamannya Moel, hingga dirinya sendiri. Jawaban yang diterima selalu sama: “Menyusul.”
Pertemuan Aneh dan Selembar Kertas yang Tak Pernah Kembali
Pada 7 Maret 2025, Moel datang langsung ke Mr Blitz Km 10. Di sana, ia bertemu dengan Yeza Eka Savitri, owner restoran. Percakapan berjalan baik, bahkan Yeza memuji sikap Anam selama bekerja. Tapi ketika ditanya soal ijazah, jawabannya hanya, “Dua hari lagi.”
Dua hari itu menjadi dua minggu. Lalu sebulan. Hingga pada pertemuan selanjutnya, suasana berubah mencekam.
Seorang pria tiba-tiba duduk di dekat meja perundingan. Ia membuka jaketnya memperlihatkan seragam polisi.
“Dia bilang bahwa Mr Blitz pernah kemalingan, dan katanya ijazah Anam termasuk yang hilang. Tapi anehnya, ijazah lain aman. Sampulnya pun masih ada. Hanya isi di dalamnya yang hilang,” cerita Moel dengan heran.
Situasi ini membuat keluarga Anam merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
Satu Ijazah, Banyak Pertanyaan
Bagi Maskur Tilawahyu, kasus ini bukan hanya tentang kehilangan dokumen. Ini adalah potret ketidakberesan sistem hubungan kerja yang masih sering terjadi.
“Kalau memang hilang karena pencurian, seharusnya dilaporkan. Kalau lalai, akui. Tapi ini tidak. Dibiarkan menggantung,” tegasnya.
Maskur juga menyoroti tindakan intimidasi yang diduga dilakukan oknum polisi dalam pertemuan tersebut.
“Itu justru membuat kami makin yakin, ada yang tidak beres,” tambahnya.
Langkah ke Dinas Ketenagakerjaan
Tak berhenti di laporan polisi, Anam dan tim hukumnya juga melaporkan kasus ini ke Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Riau. Harapannya, agar ada perhatian serius terhadap sistem penitipan dokumen penting yang dilakukan perusahaan-perusahaan.
“Sistem ini harus diatur. Jangan sampai perusahaan seenaknya pegang ijazah orang tanpa mekanisme dan jaminan,” ucap Maskur.
Harapan Seorang Pekerja
Kini, Khoirul Anam hanya bisa menunggu. Lamaran kerja terpaksa ditunda. Rencana kuliah pun tersendat. Semua karena satu lembar ijazah yang tak jelas nasibnya.
“Saya tidak menuntut macam-macam. Saya hanya mau hak saya kembali,” jelasnya.
Catatan Redaksi:
Ketika perusahaan merasa berkuasa atas segalanya, terkadang suara kecil seperti Anam mudah diabaikan. Tapi justru dari suara kecil itulah, keadilan kadang bermula. Sebab kehilangan terbesar bukanlah ijazah itu sendiri, melainkan hilangnya kepercayaan terhadap rasa keadilan yang mestinya bisa dirasakan oleh siapa pun termasuk seorang mantan karyawan biasa.
Kasus Khoirul Anam ini juga menjadi potret kecil ketidakberesan hubungan industrial di banyak sektor informal. Di tengah gempuran Mr Blitz Km 10 mengiklankan makanan cepat saji dan promo besar-besaran mereka, ada mantan hak pekerja yang dirampas secara diam-diam. Dan ketika pekerja hanya dianggap bagian dari sistem, bukan manusia, maka yang hilang bukan hanya ijazah tapi juga keadilan. (R.4z)