Inflasi 2,56 Persen di Kepri: Ketua DPRD Ketatkan Pengawasan, Pengamat Ingatkan Bahaya di Balik Angka

Infografis resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepri tentang Perkembangan IHK dan Inflasi pada April 2025, Rabu (14/5).

Tanjungpinang — Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) merilis data inflasi terbaru pada 2 Mei 2025. Sepanjang April 2025, inflasi year-on-year (y-on-y) di Provinsi Kepri tercatat sebesar 2,56 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,71, Rabu (14/5).

Sebagai informasi, Kota Batam mencatat inflasi tertinggi di Provinsi Kepri, yaitu 2,81 persen (IHK 109,21), disusul Kabupaten Karimun sebesar 2,30 persen (IHK 107,85), dan inflasi terendah terjadi di Kota Tanjungpinang sebesar 1,11 persen (IHK 106,19).

Menurut Ketua DPRD Provinsi Kepri, Iman Sutiawan, terkait perbedaan angka inflasi antara Kota Batam dan Kota Tanjungpinang. Ia menilai hal tersebut lebih dipengaruhi oleh struktur ekonomi masing-masing daerah.

“Jadi kondisi ini menurut hemat saya bukan mencerminkan adanya ketimpangan distribusi barang, akses logistik, atau faktor lain, tapi semata-mata karena tingkat ekonomi di Kota Batam memang sangat progresif (tumbuh dengan cepat) sehingga hal ini juga mendorong terjadinya inflasi karena faktor-faktor yang telah diuraikan di atas, yaitu: adanya kenaikan pemintaan barang/jasa, kenaikan biaya produksi, dan kenaikan jumlah uang beredar.,” ujar Ketua DPRD Provinsi Kepri, Iman Sutiawan, Selasa (13/5).

Penyebab Inflasi di Provinsi Kepri karena didorong oleh kenaikan harga di delapan kelompok pengeluaran, paling signifikan pada kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya yang naik 12,11 persen, serta makanan, minuman dan tembakau yang naik 4,06 persen. Sebaliknya, terdapat tiga kelompok yang mengalami penurunan indeks, yaitu kelompok pendidikan (-1,87 persen), informasi dan komunikasi (-0,37 persen), serta perlengkapan rumah tangga (-0,29 persen).

Di tengah naiknya berbagai sektor, justru kelompok pendidikan alami penurunan indeks sebesar 1,87 persen. Ini jadi angin segar. Di jelaskan Iman Sutiawan, hal itu tidak terlepas dari program subsidi pendidikan, seperti beasiswa jenjang D2 hingga S2, dan pembebasan biaya pendidikan untuk siswa SMA/SMK/SLB Negeri.

Langkah konkret pun tetap bergulir, Iman Sutiawan menegaskan komitmennya dalam menjalankan fungsi pengawasan, khususnya melalui koordinasi dengan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang dibentuk oleh Gubernur Kepri. DPRD turut mengawasi harga dan ketersediaan barang, distribusi bahan pokok, operasi pasar murah, serta aktivitas spekulan yang memicu inflasi.

Selain itu, DPRD Provinsi Kepri juga memantau sistem distribusi energi di wilayah rawan inflasi tinggi seperti Kabupaten Kepulauan Anambas dan Natuna, yang kerap terkendala pasokan logistik.

Sementara, Pengamat Ekonomi Kepri, Chaidar Rahmat, menyoroti pentingnya sinergi antar indikator makroekonomi dalam menjaga stabilitas ekonomi daerah.

“Saya berkesimpulan bahwa suatu ekonomi makro itu adalah sebuah sistem. Sistem itu saling terkait satu komponen dengan komponen lainnya,” terang Chaidar saat dijumpai di salah satu warung kopi, Selasa (13/5).

Ia menekankan, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) memiliki tugas utama untuk mengontrol laju Indeks Harga Konsumen (IHK). Salah satu instrumen penting yang harus dijalankan TPID adalah operasi pasar, yang menurutnya harus disiapkan dan dilaksanakan secara berkala, minimal setiap triwulan, karena dinamika ekonomi sangat cepat berubah.

Chaidar juga mengingatkan pentingnya mencermati keterkaitan antara inflasi dengan indikator lainnya.

“Inflasi year-on-year (y-on-y) di Kepri sebesar 2,56 persen itu harus dicermati. Apakah angka tersebut sejalan dengan peningkatan kesempatan kerja, penurunan angka kemiskinan, dan pertumbuhan belanja pemerintah? Kalau tidak, maka itu menjadi kontradiktif,” jelasnya.

Ia mencontohkan, jika inflasi tinggi tetapi tidak diikuti oleh peningkatan daya beli masyarakat, kesempatan kerja tetap rendah, atau belanja pemerintah justru menyusut, maka itu menandakan adanya persoalan serius dalam perekonomian.

“Kalau inflasi tinggi tapi daya beli masyarakat turun, artinya ekonomi kita sedang tidak sehat,” pungkasnya. (R.4z)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *