Ketua DPRD Kepri Jadi Sandaran Nelayan di Tengah Sunyi Pucuk Pemerintahan

Kantor Gubernur Provinsi Kepulauan Riau(Kepri) di Dompak, Senin(19/5), Foto: Centraliputanesia.co.id

Tanjungpinang – Ratusan nelayan kecil asal Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), menggelar aksi unjuk rasa di Gedung Daerah Tanjungpinang, pada Kamis(15/5) lalu. Aksi tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap kebijakan migrasi dan penggunaan Vessel Monitoring System (VMS) yang akan diberlakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Provinsi Kepri.

Dalam aksi yang digelar di bawah terik matahari tersebut, Gubernur Kepri Ansar Ahmad malah tidak terlihat hadir untuk merespons secara langsung aspirasi para nelayan.

Berbeda dengan sikap Pemerintah Provinsi (Pemprov), Ketua DPRD Kepri, Iman Sutiawan menunjukkan keberpihakan terhadap nelayan dengan menemui langsung massa aksi. Ia keluar dari ruang kerjanya, menyambut para demonstran dan mendengarkan tuntutan mereka secara terbuka.

Saat dikonfirmasi oleh media ini, Iman menyampaikan komitmennya untuk memperjuangkan tuntutan para nelayan dan menyatakan bahwa persoalan tersebut akan dibawa hingga ke tingkat pusat.

“Secara lisan, kita sudah menyampaikan ke DPR RI. Intinya akan kita tindaklanjuti permasalahan tersebut,” ujar Iman melalui sambungan WhatsApp, Sabtu (17/5).

Lebih lanjut, Iman juga menunjukkan sikap responsif dengan segera memanggil pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri untuk mengkaji persoalan yang dialami nelayan.

“Kemarin selesai unjuk rasa, saya sudah memanggil Dinas Kelautan dan Perikanan, untuk mengetahui permasalahannya, apalagi saya mendengar ada denda kepada nelayan kita,” tambahnya.

Iman pun menyatakan bahwa ia telah menghubungi dan meminta aparat penegak hukum di laut yakni PSDKP, untuk tidak melakukan tindakan hukum terhadap nelayan kecil Kepri selama mereka masih dalam tekanan kebijakan.

“Saya juga sudah meminta kepada PSDKP jangan ditangkap dulu nelayan kita (nelayan yang mencari ikan di atas 12 mil), selagi mereka melaut dengan cuaca yang bagus biarkan saja, nelayan kita tu hanya cari pagi untuk makan sore, cari sore untuk besok,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua HNSI Kepri sekaligus Koordinator Forum Komunikasi Nelayan Nusantara, Distrawandi, turut menyampaikan kritikannya terhadap kebijakan pemerintah pusat yang dianggap tidak memperhatikan kondisi nyata nelayan Kepri.

“Nelayan yang ber GT 6 sampai 29 di Provinsi Kepulauan Riau harus bermigrasi dan memasang VMS ketika menangkap ikan di atas 12 mil. Persoalannya, kita ini berbeda dengan nelayan pantura. Sehingga, migrasi dan pemasangan VMS menjadi menakutkan,” jelasnya saat dihubungi via telpon whats’app, Sabtu(17/5).

Distrawandi menilai kebijakan tersebut tidak relevan dengan karakteristik wilayah dan pola melaut nelayan di Kepri.

“Terkait pemasangan VMS di nelayan kita yang ber GT 6 sampai 29 itu manfaatnya tidak ada. Sedangkan masalah migrasi, ikan di Provinsi Kepri itu juga bermigrasi seperti pada waktu tertentu ikannya turun di bawah 12 mil dan terkadang di atas 12 mil. Nah dalam hal ini, nelayan kita itu mencari dahulu baru menangkap,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan kekhawatiran terhadap dampak ekonomi akibat pemberlakuan kebijakan migrasi yang mewajibkan pembayaran pascaproduksi.

“Migrasi ini juga harus membayar pasca produksi sebesar 5 persen, kalau diatur sedemikian rupa oleh Menteri KKP tentu nelayan kita sangat sulit dalam ruang geraknya,” katanya.

Distrawandi mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya berupa ancaman, melainkan sudah menimbulkan penindakan nyata.

“Kebijakan ini sudah terjadi, dalam minggu ini 6 kapal nelayan kita ditangkap oleh PSDKP karena melanggar 12 mil, ketika ditangkap, diperiksa dan diproses, nelayan tersebut langsung dikenakan denda administrasi. Dimana PSDKP melimpahkan ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri,” ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa denda yang dikenakan tidak masuk akal jika dilihat dari kapasitas ekonomi nelayan kecil.

“Denda satu kapal itu ada yang 2 juta kapal kecil 6 GT, ada juga yang 18 juta sampai 28 juta. Denda ini masuknya ke PAD Provinsi Kepri, jadi kita ini seperti di adu domba,” tambahnya.

Distrawandi juga menyoroti beban biaya pemasangan VMS yang dipaksakan kepada nelayan.

“Tidak semua nelayan kita mampu memasang VMS karena mahal dan dibebankan biaya ke nelayan itu sendiri, jika ini dipaksakan. Kita akan bertindak lebih besar dan bersuara lebih lantang lagi,” tegasnya.

Distrawandi menegaskan bahwa pihaknya telah menyerahkan surat tuntutan resmi ke DPRD Kepri sebagai bentuk keseriusan perjuangan mereka.

“Surat kami sudah dimasukan ke DPRD Provinsi Kepri hari ini, isinya tuntutan kami saat unjuk rasa kemarin,” terangnya.

Momentum aksi yang seharusnya menjadi ruang dialog terbuka tidak dihadiri oleh kepala daerah.

“Kami saat aksi unjuk rasa, gubernur tidak hadir, wakil gubernur Kepri katanya bersedia hadir tetapi tidak hadir juga. Kami kalau hanya setakat Dinas Kelautan dan Perikanan aja yang hadir kami sudah bosan, persoalan ini sudah bolak-balik kami lakukan dengan DKP baik secara persuasif bahkan mengemis ke mereka,” tutup Distrawandi.

Media ini telah melakukan konfirmasi dengan memberikan pertanyaan kepada Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kepulauan Riau (Diskominfo Kepri) terkait alasan ketidakhadiran Gubernur dalam aksi unjuk rasa tersebut. Namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada rilis resmi atau tanggapan yang disampaikan.(R.4z)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *