Tanjungpinang — Kondisi nelayan lokal di Kabupaten Natuna dan Kepulauan Anambas saat ini dinilai sangat memprihatinkan. Hal tersebut disampaikan oleh Marzuki, S.H selaku Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Riau (Kepri) sekaligus Anggota DPRD Provinsi Kepri, Rabu (21/5/2025).
Dengan nada prihatin, ia mengungkapkan nelayan lokal kalah dalam semua aspek di teknologi maupun permodalan, hingga dukungan kebijakan.
“Kondisi yang dialami oleh nelayan di Kabupaten Natuna dan Anambas saat ini cukup memprihatinkan, kehadiran kapal-kapal nelayan luar daerah (industri perikanan) tentunya berdampak buruk terhadap nelayan lokal, karena kalah saing dari segi peralatan dan juga kebiasaan nelayan lokal yang jarang mau kerja berkelompok. Akan tetapi, ketika nelayan luar masih dalam zona penangkapan yang sudah diatur tentunya mereka juga diberikan ruang dalam zona tangkap tersebut,” ungkap Marzuki, Selasa(20/5).
Dikatakan Marzuki, pengawasan di laut juga jauh dari kata maksimal. Dirinya menyebut bahwa pelanggaran oleh kapal asing dan lokal terus terjadi di Kabupaten Kepulauan Anambas dan Natuna. Maka, upaya yang dilakukan DPRD dan HNSI Kepri sejauh ini sebatas menyampaikan laporan.
“Kami di DPRD tentunya selalu melaporkan setiap kejadian-kejadian yang ada di daerah Natuna dan Anambas, baik itu oleh nelayan asing maupun nelayan daerah yg melanggar zona tangkap. Bahkan belum lama ini, saya bersama Kadis Perikanan Provinsi dan juga Ketua HNSI berdialog dengan Dirjen di KKP agar ada perlakuan khusus untuk nelayan Natuna dan Anambas. Bahkan, kami sudah meminta kepada pemerintah untuk membuat kajian atau naskah akademis tentang karakteristik nelayan Natuna dan Anambas agar nantinya kajian ini menjadi acuan bagi Kementerian KKP untuk wilayah perairan Natuna dan Anambas WP 711,” sebutnya.
Lebih lanjut, Marzuki menegaskan HNSI dan DPRD Kepri tetap selalu aktif menyuarakan kepada Pemerintah Pusat agar penegakan zona tangkap dilakukan secara tegas dan tidak ada kapal yang melanggar wilayah operasional yang telah ditentukan.
“Sampai saat ini DPRD Provinsi Kepri tetap menyampaikan kepada Pemerintah Pusat agar tidak ada lagi kapal-kapal, baik izinnya dari provinsi maupun pusat yang beroperasi di luar zona tangkap yang ditetapkan. HNSI sendiri tentu juga membuka ruang diskusi dengan pemangku kebijakan baik di daerah maupun di tingkat pusat, agar kebijakan yang diambil oleh KKP bisa melindungi nelayan kecil di daerah,” tegasnya.
Sedangkan terkait Terkait dengan bantuan alat tangkap untuk nelayan lokal di Kabupaten Natuna dan Anambas, Marzuki menyampaikan bantuan sebenarnya sudah berjalan. Namun, masih belum mencukupi kebutuhan nelayan di lapangan akibat keterbatasan anggaran.
“Pemberian bantuan alat tangkap sudah berjalan baik yang bersumber dari dana DAK maupun anggaran APBD akan tetapi mungkin belum signifikan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah provinsi. Secara UU, kewajiban mendasar dari pengelolaan keuangan daerah adalah 20 persen sektor pendidikan, 10 persen sektor kesehatan,” ujarnya.
Terakhir, Marzuki mengatakan pemasaran hasil tangkapan nelayan lokal Kabupaten Natuna dan Anambas masih jadi pekerjaan rumah. Sampai hari ini, belum ada kebijakan konkret dari pemerintah daerah untuk membuka pasar baru.
“Kalau ini belum ada, mungkin lewat HNSI kita akan coba kemungkinan membuka pemasaran hasil tangkapan nelayan untuk dipasarkan di wilayah provinsi,” pungkasnya.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Said Sudrajad Mazlan belum memberikan tanggapan atas situasi yang memprihatinkan ini. Upaya konfirmasi mendatangi kantor dan melalui pesan whats’app yang dilakukan oleh Media ini belum membuahkan hasil. (R.4z)