Senyap di “Bunda Tanah Melayu” Ketika Raja-Raja Kecil Merajalela

Foto Hanya Mengilustrasikan Suara Lantang Seorang Mahasiswa Asal Lingga dari Universitas Putera Batam, Rahwanda Menyuarakan Kasus Korupsi di 'Bunda Tanah Melayu' Selasa (21/10)

Lingga – Sore itu di Lingga seharusnya menghadirkan ketenangan laut dan semilir angin Melayu. Namun di balik pemandangan indah itu, tersimpan kisah kelam tentang kuasa dan uang. Aroma amis yang tercium di kabupaten ini bukan dari hasil laut, melainkan dari dugaan praktik korupsi yang tumbuh subur di bawah bayang-bayang kekuasaan.

Lingga, yang dijuluki Bunda Tanah Melayu, kini menghadapi kenyataan pahit: munculnya para “raja kecil” yang merasa kebal hukum. Mereka menguasai birokrasi, memanfaatkan jabatan, dan menggunakan pengaruh keluarga untuk membungkam kritik serta melindungi kepentingan sendiri.

Bacaan Lainnya

Keadilan yang Runtuh Sebelum Berdiri

Adagium klasik Fiat Justicia Ruat Caelum tegakkan keadilan walau langit runtuh seolah tak berlaku di sini. Di Lingga, hukum justru roboh sebelum ditegakkan.

Kasus ancaman terhadap seorang jurnalis pada Oktober 2024 membuka luka itu. Wartawan tersebut memberitakan dugaan korupsi pengadaan bibit bonsai di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim). Beritanya menyeret nama istri kepala daerah. Namun, bukannya klarifikasi yang datang, melainkan intimidasi dari seorang pejabat eselon II Sekretaris DPRD yang juga suami pejabat legislatif.

Ancaman itu bukan insiden biasa. Ia menandai titik ketika kekuasaan dan hubungan keluarga digunakan untuk membungkam kebenaran.

Kasus Mengendap, Hukum Mandek

Dugaan korupsi di Lingga tidak berhenti pada proyek bonsai. Kasus jembatan Marok Kecil yang menjerat mantan pejabat Dinas PUTR hanya satu dari banyak persoalan yang mengendap.

Data berbagai media di Kepulauan Riau mencatat sejumlah kasus belum tersentuh hukum. Salah satunya, dugaan korupsi pengadaan bibit bonsai senilai Rp290 juta pada 2021. Laporan menyebut perusahaan rekanan hanya “dipinjam” dan dana proyek ditarik tunai oleh pihak dinas. Jika terbukti, pola ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2025 mencatat hilangnya aset daerah senilai lebih dari Rp10 miliar di bawah pengelolaan Sekretariat Daerah. Kendaraan dinas tidak ditemukan, dan hingga kini belum ada tindak lanjut hukum yang jelas.

Kasus-kasus itu menunjukkan lemahnya penegakan hukum di tingkat lokal. Aparat penegak hukum terlihat enggan menyentuh nama besar yang terlibat. Situasi ini memupuk persepsi bahwa impunitas masih menjadi budaya.

Oligarki Lokal Mengakar, Pers Dibungkam

Fenomena Lingga memperlihatkan bagaimana oligarki bekerja di daerah. Dinasti politik menjelma menjadi jaringan kekuasaan yang melibatkan pejabat, keluarga, dan kroni birokrasi. Mereka mengontrol anggaran, proyek, bahkan narasi publik.

Pembungkaman terhadap wartawan menjadi bagian dari pola itu. Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas melarang tindakan yang menghalangi kerja jurnalis. Pasal 18 menyebut, pelaku dapat dipidana karena merusak kebebasan pers yang menjadi pilar demokrasi.

Namun di lapangan, ancaman tetap terjadi. Jurnalis yang menulis kebenaran menghadapi risiko, sementara pelaku yang mengintimidasi berjalan bebas. Ketika suara media dipaksa diam, publik kehilangan hak untuk tahu. Dan ketika publik tak tahu, penguasa bebas menulis versinya sendiri tentang kebenaran.

Suara yang Harus Dihidupkan Kembali

Kasus-kasus di Lingga bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan cermin kegagalan desentralisasi menciptakan akuntabilitas. Daerah kaya sumber daya seharusnya melahirkan pemerintahan bersih, bukan kerajaan kecil yang rakus.

Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu turun tangan. Mereka harus menyupervisi dan mengambil alih kasus yang mandek, terutama yang melibatkan pejabat tinggi daerah. Sementara, kasus ancaman terhadap jurnalis harus diproses sebagai tindak pidana, bukan sekadar pelanggaran etik.

Negeri ini butuh keberanian untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Hanya dengan langkah tegas terhadap para penyalahguna kekuasaan, “Bunda Tanah Melayu” dapat diselamatkan dari cengkeraman oligarki.

Penutup: Agar Langit Tak Benar-Benar Runtuh

Lingga adalah simbol sejarah, marwah, dan kebanggaan Melayu. Namun ketika hukum tunduk pada kekuasaan, nilai itu perlahan pudar.

Kini, keheningan bukan lagi tanda damai, melainkan tanda takut.

Jika keadilan terus dibiarkan runtuh, langit mungkin tidak akan benar-benar jatuh

tetapi kehormatan manusia di negeri ini pasti hancur.(Red)

Opini ini ditulis dan dikisahkan oleh Mahasiswa Lingga Universitas Putera Batam: Rahwanda.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *