Anambas — Kabupaten Kepulauan Anambas merupakan pulau terluar dan titik terjauh utaranya Indonesia. Pulau dengan ketenangan dan menyimpan arti strategis luar biasa bagi kedaulatan negara. Namun di balik semua itu, pulau terluar tersebut menyimpan luka dalam bukan dari luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri.
Di ibukota Kabupaten Kepulauan Anambas yakni Tarempa terdapat sudut yang terlupakan, berupa tiga bidang tanah berjumlah seluas 49, 980 hektare milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Anambas berlokasi di Rintis hulu yang saat ini masuk Desa Tarempa Selatan, Kecamatan Siantan, Kabupaten Kepulauan Anambas terbengkalai tanpa arah serta menyimpan harapan.
Tiga bidang tanah itu sudah dibebaskan lebih dari 10 tahun lalu oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Anambas. Namun, lahan seluas 49,980 hektare itu hanya menjadi tempat lembu mencari makan. Tragisnya lagi, saat media ini turun ke lokasi, terlihat hanya ada sebuah pondok di seberang tanah ini dengan keheningan dan bau curiga yang tak kunjung hilang.
Lebih mengejutkan lagi, rupanya lahan yang merupakan bagian dari proyek pembebasan tanah oleh Pemkab Kepulauan Anambas tahun 2014 silam ini memiliki nilai yang masih menjadi misteri. Di atas kertas, nilainya Rp2 miliar. Namun desas-desus menyebut angka sebenarnya mencapai Rp6 miliar. Sedangkan, di tengah-tengah masyarakat, malah beredar desas-desus bahwa dana yang benar-benar sampai ke tangan pemilik lahan hanya sekitar Rp1 miliar. Sisanya, diduga kuat “tersangkut” di tangan oknum pejabat yang menangani proyek tersebut saat itu.
Tentunya, kisah ini bukan sekedar soal sebuah lahan kosong yang kini disebut Lahan Terbuka Hijau (LTH), melainkan persoalan bagaimana uang negara bisa menguap begitu saja tanpa kejelasan, tanpa pertanggungjawaban.
Dokumen Resmi di Tangan Media

Tim media ini berhasil memperoleh dokumen kuitansi berstempel dinas yang menunjukkan angka Rp2 miliar sebagai nilai pembebasan. Namun bukti itu justru menambah keganjilan karena pencairan yang diterima pihak Soewanto alias Su Guan (pemilik lahan saat itu) hanya setengahnya.
“Isunya sih yang diterima hanya Rp1 miliar. Sisanya? Katanya diurus pejabat kala itu untuk biaya administrasi, tapi sampai sekarang tidak jelas,” ungkap salah satu pihak pegawai Pemkab Kepulauan Anambas yang tidak ingin identitasnya disebutkan dengan nada getir.
Kini, satu lembar kuitansi menguak lebih dari sekadar nominal. Tetapi, ia membuka kembali luka pengelolaan anggaran yang tidak transparan, aparat yang menghindar dari tanggung jawab, dan aset negara yang dibiarkan terbengkalai.
PPTK Bingung, Prosedur Tak Jelas
Ketika media ini mencoba menggali keterangan dari Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) kala itu, Selljuli Hamurillah jawabannya justru memicu kecurigaan baru.
“Bukan ditunjuk mendadak, tapi ketika ditunjuk untuk jadi PPTK, iya harus siap aja. Waktu itu yang menunjuk kepala bagian administrasi pemerintahan umum,” ujarnya dengan gelisah, Selasa (22/4/2025).
Saat ditanya apakah pembayaran dilakukan secara tunai atau melalui rekening, ia bahkan tidak bisa memberikan jawaban pasti.
“Saya terakhir kali konfirmasi kawan-kawan saya yang lama, informasinya tunai. Ini pun saya lagi tunggu fotonya (pembayaran lahan saat itu) biar asli dan siapa saja saksinya saat itu,” ucapnya, membuat masyarakat bertanya: bagaimana bisa proyek sebesar ini tidak tercatat jelas?
Lanjutnya, terkait beredar kabar pihak keluarga hanya menerima sekitar Rp1 miliar dari 2 miliar sesuai dengan kwintasi. Kabar tersebut dibantah oleh Selljuli.
“Saya rasa tidak mungkin, kalau pihak keluarga menerima segitu pasti sudah melaporkan. Karena kan yang ditanda tangan sebesar 2 miliar, ya jadi tidak mungkinlah,” terangnya.
Lahan Terbuka Hijau atau Akal-akalan?

Lahan tersebut diklaim sebagai Lahan Terbuka Hijau (LTH). Tapi di lapangan, tak ada tanda-tanda fungsi lahan tersebut digunakan untuk apa? yang tampak hanya pagar bambu dan tidak ada papan plang yang menandakan tanah ini milik Pemkab Anambas, apalagi pendataan lingkungan.
“Kalau LTH, kenapa tidak dirawat? Ini bukan lahan hijau, ini lahan terlantar!” seruTengku Azhar selaku Sekretaris Gerakan Tuntas Korupsi (Getuk) Provinsi Kepri.
Tak hanya LSM Getuk Kepri saja yang menyoroti. Namun, salah satu masyarakat Anambas juga turut mengaku geram dan merasa dibohongi.
“Kami pikir akan dibangun sesuatu untuk masyarakat. Nyatanya malah dibiarkan seperti tanah tak bertuan,” ucapnya.
Desakan untuk DPRD Mengaudit dan Telusuri
Tengku Azhar mendesak DPRD Kabupaten Kepulauan Anambas agar tidak tinggal diam. Ia menilai bahwa kasus ini adalah bentuk pengabaian terhadap akuntabilitas penggunaan uang negara.
“Sudah ada bukti kuitansi, sudah ada informasi dari sejumlah masyarakat, sudah cukup untuk memulai audit dan penelusuran,” ujar Tengku.
Jika, DPRD Kabupaten Kepulauan Anambas tidak ada tindakan yang konkret. Maka, Kekecewaan publik akan menguat bukan hanya soal lahan, tapi soal keadilan yang tak kunjung dijawab.
Lebih dari Sekadar Lahan Kosong
Tanah itu bukan sekadar 49,980 hektare hektar yang tak dimanfaatkan. Ia adalah simbol dari proyek yang dijalankan tanpa arah, uang rakyat yang menguap, dan pejabat yang mengelak dari tanggung jawab. Waktu boleh berlalu, tapi jejak kecurigaan tak hilang. Dan masyarakat kini tidak hanya geram mereka ingin tahu, siapa yang mengambil hak mereka?
Selagi para pejabat masa lalu bungkam, dan dokumen lain belum muncul ke permukaan, masyarakat hanya punya satu harapan: agar keadilan tak ikut menghilang seperti anggaran yang pernah dikeluarkan.
Dan selama pertanyaan ini belum dijawab, tanah itu akan tetap berdiri sebagai pengingat: bahwa janji pemerintah, tanpa pengawasan, hanya akan berakhir sebagai lahan terlantar.
Apa yang tersisa dari proyek ini hanyalah lahan kosong dan dokumen yang menyimpan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Tak ada manfaat yang dirasakan masyarakat, dan tak ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab hingga saat ini.
Selama para pengambil kebijakan hanya saling lempar tangan, tanah itu akan terus menjadi simbol gagalnya pemerintahan mengelola kepercayaan rakyatnya.(R.4z)