RSUP RAT Berjalan di Garis Tipis Antara Layanan dan Keuangan

Gedung Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raja Ahmad Tabib, Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, tampak dari depan, Jumat (1/8).

Tanjungpinang – Di balik dinding gedung RSUD Raja Ahmad Tabib (RSUP RAT), rumah sakit milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Riau (Kepri), tengah berlangsung upaya “penyelamatan” keuangan yang tidak sederhana. Utang mencapai Rp 29 miliar, akibat dari sebagian klaim pendapatan dari tahun lalu belum dibayar, dan sejumlah pengeluaran di luar rencana menambah beban anggaran.

Kepala Bagian (Kabag) Perencanaan BLUD RSUP RAT, Syarif Hidayat, membeberkan kondisi tersebut dalam wawancara dengan media ini. Menurutnya, pembayaran utang kepada pihak ketiga sudah dilakukan sejak Januari 2025.

“Utang Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) sudah lunas pada Maret lalu karena ada batas waktunya. Sedangkan, sisa utang jasa pelayanan masih sekitar Rp 15 miliar,” jelasnya, Jum’at (1/8/2025).

Penghematan yang Terkikis Kebutuhan Mendesak

Manajemen rumah sakit, kata Syarif, saat ini menjalankan program penghematan ketat. Penggunaan listrik dioptimalkan, pembelian barang dibatasi. Namun, strategi ini langsung terbentur kenyataan dengan adanya beban baru berupa gaji customer service dan tenaga keamanan yang sebelumnya dibayar melalui APBD, saat ini harus diambil dari anggaran Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Belum lagi, kerusakan AC sentral pada tahun 2024 yang memaksa rumah sakit mengeluarkan dana tambahan untuk pembelian kipas angin dan AC baru.

“Pengeluaran itu di luar perencanaan awal, tetapi sifatnya mendesak demi menjaga pelayanan kepada pasien,” kata Syarif.

Pendapatan yang Tertahan

Di sisi lain, arus kas rumah sakit terganggu karena sebagian pendapatan tahun lalu belum diterima. Syarif menyebut, klaim obat tahun 2024 tertunda pembayarannya selama empat bulan dengan nilai lebih dari Rp 3 miliar. Klaim reguler BPJS pun mengalami penundaan sekitar dua bulan.

“Kami sudah menyusun telaah staf berdasarkan temuan BPK dan analisis keuangan BLUD, lalu melaporkannya kepada Gubernur, berharap ada dukungan tambahan dari APBD Perubahan,” ujarnya.

Celah Pengawasan dan Kewenangan BLUD

Syarif menegaskan bahwa seluruh pengadaan BMHP dan alat kesehatan pada 2024 telah sesuai mekanisme yang diatur dalam peraturan.

“Kewenangan anggaran BLUD dilimpahkan kepada rumah sakit melalui PP 72/2019, Pergub 9/2023, dan Permendagri 77/2020,” kata dia.

Sedangkan, untuk penggunaan anggaran yang nilainya di bawah ambang batas, Syarif mengungkapkan cukup dilaporkan kepada Dewan Pengawas (Dewas), tanpa harus melewati proses persetujuan kepala daerah atau lembaga audit eksternal.

“Itu sudah kami diskusikan dengan BPK dan Inspektorat,” ucapnya.

Koordinasi dengan Dewas, menurut Syarif, berjalan baik. “Semua pelaporan anggaran dan kebijakan terdokumentasi dalam rapat Dewas, termasuk langkah-langkah penyelesaian utang jangka pendek,” tambahnya.

Keseimbangan Layanan dan Keuangan

Syarif mengakui bahwa menjaga kualitas layanan di tengah keterbatasan keuangan adalah tantangan berat. Alat kesehatan berteknologi tinggi seperti MRI dan CT Scan memerlukan perawatan mahal oleh vendor berlisensi resmi, bukan vendor lokal.

“Kami tetap prioritaskan layanan kepada masyarakat, meski harus menyesuaikan anggaran,” tegasnya.

Sementara itu, komposisi penggunaan anggaran RSUP RAT pada 2024 menunjukkan BLUD mengalokasikan hampir 90 persen belanja untuk BMHP, serta membayar gaji dokter spesialis dari luar. Sedangkan APBD hampir 97 persen terserap untuk belanja pegawai, termasuk tunjangan profesi.

Sorotan BPK: Tata Kelola Bermasalah

Meski pihak manajemen menyebut langkah-langkahnya sesuai prosedur, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas LKPD Pemprov Kepri 2024 mencatat sejumlah penyimpangan di RSUP RAT. Temuan itu antara lain:

1. Jumlah belanja yang menjadi beban BLUD RSUD RAT melebihi ambang batas dan belum mendapat persetujuan gubernur

2. Pendapatan BLUD RSUD RAT tidak dapat menutup biaya operasional

Hal ini membuka peluang terjadinya inefisiensi penggunaan anggaran dan bahkan potensi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) bisa saja terjadi bila dibiarkan berlarut-larut. (R.4z)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *